Apakah Tandatangan Suami/Istri Diperlukan Dalam Perceraian?
Para perempuan yang akan menggugat cerai suaminya biasanya akan kebingungan jika sang suami tidak ingin menandatangani surat perceraian tersebut. Mereka mengungkapkan kegelisahannya karena sudah tidak nyaman lagi berumah tangga dengan pasangan hidupnya, tetapi suami/istri mereka sudah memberikan ultimatum untuk tidak akan menandatangani surat cerai.
Apa yang ditemui di sini adalah gambaran nyata dalam masyarakat kita yang awam dengan permasalahan hukum, ditambah lagi tontonan beberapa sinetron TV yang (kurang lebih) menayangkan cerita yang menyesatkan, belum lagi informasi (katanya) dari teman atau keluarga yang mengungkapkan informasi yang sama.
Persangkaan yang salah tersebut di atas tidak perlu kita hiraukan, karena proses perceraian tidak memerlukan izin atau persetujuan (tanda tangan) dari suami/istri. Jika salah satu pihak akan mengajukan gugatan cerai, maka proses yang benar adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan (Pengadilan Negeri bagi non Muslim dan Pengadilan Agama bagi umat Muslim).
Perlu diketahui jika Perkawinan di Indonesia diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Bagi orang-orang yang memeluk agama Islam selain UU tersebut pengaturan lebih lanjut diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
Pihak yang mengajukan disebut Penggugat dan pihak yang digugat disebut dengan Tergugat. Setelah melalui proses registrasi maka para pihak baik Penggugat maupun Tergugat akan diberikan panggilan (Relaas) oleh petugas yang disebut sebagai Juru Sita. Bagi pihak Tergugat panggilan tersebut disertakan dengan berkas gugatan, namun dalam beberapa kasus masih ada pihak Tergugat yang tidak mau menandatangani Relaas dengan anggapan ingin menghambat atau agar proses perceraian tidak bisa berjalan/batal, namun anggapan yang salah itu justru menjadi bumerang bagi Tergugat karena senyatanya panggilan itu layak menurut hukum (biasanya dalam Relaas juru sita menuliskan “telah bertemu dengan Tergugat namun Tergugat tidak mau menandatangani relaas panggilan”), dan apabila Tergugat tidak hadir di persidangan maka “hak jawab” terhadap gugatan tidak ada, artinya Tergugat menyetujui atau tidak membantah dalil-dalil di dalam gugatan, kemudian jika Tergugat terus menerus tidak hadir dalam persidangan maka putusan Hakim terhadap perkara itu jatuh secara Verstek.